Oleh: Bramastia
Sedikitnya 3.000 perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS) di Indonesia yang akan menolak Rancangan Undang Undang Pendidikan Tinggi RUU. Alasannya, keberadaan RUU PT yang masih dibahas di DPR tersebut hanya ‘ganti baju’ dari UU Badan Hukum Pendidikan (BHP).
Padahal, RUU PT diharapkan mampu menjadi payung hukum baru yang nantinya menggantikan UU BHP. Ironisnya, napas komersialisasi dalam RUU PT ternyata masih menjadi perdebatan yang tak kunjung usai.
Meski pemerintah berdalih bahwa RUU PT tidak dimaksud sebagai pengganti UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Tetapi kenyataannya, secara substansi memang hanya ganti baju karena rohnya tetap sama, yaitu UU BHP.
Lepas Tanggung Jawab
Sangat wajar bila RUU PT yang menjadi kontroversi ini dipandang belum bisa mewakili kampus dalam pengembangan pendidikan dan tidak meningkatkan daya saing bangsa.
Upaya pemerintah dalam membuat kebijakan yang otonom, dinamis dan akuntabel, masih saja disangsikan masyarakat. Celakanya, pemerintah belum mengetahui perbedaan utamanya antara RUU PT dengan UU BHP, tetapi sudah berkoar bahwa sistem dalam RUU PT ini jauh lebih cerdas, efektif, akuntabel dan otonom.
Dalam pandangan pemerintah, persoalan komersialisasi yang ada dalam UU BHP, diyakini sudah tidak ada lagi di RUU PT. Tetapi para stakeholder pendidikan juga sadar, bila perguruan tinggi memang dituntut harus mampu mandiri, terutama dalam pengelolaan keuangan untuk menghasilkan lulusan berkualitas.
Jika saja pemerintah masih rendah mendukung pendanaan peningkatan mutu pendidikan, maka makna kemandirian untuk mencari sumber dana tambahan penyelenggaraan pendidikan akan menjadi pintu utama komersialisasi.
Sinyal komersialisasi sangat tampak dalam RUU PT, terutama pada pasal 56 ayat (1), yang berbunyi “Perguruan Tinggi Pemerintah (PTP) dapat menyelenggarakan badan usaha atau portofolio sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Semestinya, institusi pendidikan tinggi mendapat bantuan pemerintah, sehingga substansi RUU PT semakin terlihat jelas bila pemerintah lepas tanggung jawab dalam pembiayaan pendidikan.
Makna terdalam pada kalimat “dapat” terkesan diarahkan pada makna bias bahwa amanah pemerintah dalam ranah pengupayaan penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Padahal, pemerintah mestinya wajib serta memiliki tanggungjawab penuh dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Sehingga negara memang harusnya bertanggungjawab penuh dalam pelaksanaan pendidikan.
Bias kata dalam RUU PT, tentu akan mengakibatkan bias makna pula. Imbas dari ketidakpastian pendanaan pemerintah, kedepan pasti akan sangat mempengaruhi pengaturan dalam pelaksanaan pendidikan.
Bisa jadi, RUU PT menjadi sinyal kuat bila pemerintah mulai mengurangi perannya dalam pelaksanaan pendidikan. Upaya tersistem atas kemandirian bidang pendidikan akibat imbas neoliberalisme, yaitu pengurangan peran pemerintah, pasar bebas, dan individualism.
Kemandirian Semu
Begitu pula dalih kemandirian juga tertuang pada pasal 9 ayat (1), yang berbunyi “Kemandirian Perguruan Tinggi untuk mengelola pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) diberikan dengan tahapan sebagai berikut: a). Perguruan Tinggi dengan kemandirian penuh bagi PTP dan PTM; b). Perguruan Tinggi dengan kemandirian sebagian bagi PTP dengan cara menerapkan PPK-BLU dan PTM dalam pengelolaan kegiatan akademik; c). PTP sebagai unit pelaksana teknis pemerintah.
Substansi pasal 9 ayat (1) sebagai kemandirian “semu” yang akan menjadi pintu utama masuknya liberalisasi perguruan tinggi. Kewaspadaan terhadap regulasi pemerintah yang sarat titipan sebagai upaya menangkal atas pembiaran terhadap kehancuran negeri.
Strategi menghentikan agenda globalisasi di bawah penerapan agen kapitalisme memang perlu langkah bersama agar mampu mengubah pemikiran dan melahirkan kesadaran yang benar kepada rakyat.
Andaikan neoliberalisme sebagaimana RUU Perguruan Tinggi berhasil menguasai pendidikan secara tersistem, jelas berdampak mahalnya biaya pendidikan.
Dalam hal ini, saya berharap pemerintah lebih sabar dan cermat dalam merancang RUU Perguruan Tinggi agar dapat mengakomodir seluruh elemen. Minimal, kritik terhadap RUU ini menjadi bentuk masukan bagi pemerintah, bahwa selama ini ada kesenjangan antara kaya dan miskin, karena tidak adanya jaminan terhadap akses kemudahan PT bagi seluruh masyarakat.
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta
http://banjarmasin.tribunnews.com/read/artikel/1970/1/1/138211/Neoliberalisme-di-Balik-RUU-Perguruan-Tinggi
No comments:
Post a Comment